Retreat

Retreat
Paskah 7 April 2010

Golden Bridge

Kumpulan ide-ide kreatif yang dibangun untuk membangun masa depan pemuda yang semakin disukai Allah dan manusia.

Minggu, 12 September 2010

Postmodernisme

POSTMODERNISME
Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis Terhadap Peran Agama Oleh Manusia Dalam Memberlakukan Nilai-Nilai Kemanusiaan Di Era Postmodernisme





OLEH :
EZRA TARI


Skripsi Sarjana Teologi
STT INTIM MAKASSAR 2010

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama hadir dalam kehidupan manusia sebagai sebuah kesadaran akan hal yang Ilahi. Menurut Tylor agama merupakan sebuah keyakinan terhadap yang spiritual. Seluruh kegiatan manusia dikendalikan dan diatur sesuai tatanan kehidupan keagamaan yang pada awalnya bergantung pada peristiwa alam. Agama menawarkan janji akan hidup sejahtera, damai dan penuh kepastian tetapi kenyataannya, seperti ungkapan A.N Wilson:
Dalam Alkitab dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri pemilik kebenaran.


Pernyataan A.N. Wilson menggambarkan bahwa semua kekacauan, peperangan yang terjadi adalah tanggung jawab agama, padahal agama memberikan yang paling murni dalam hati manusia, lalu mengapa terjadi peperangan atau teror, dan ketidakbenaran? Jika agama itu berada dalam diri seseorang mengapa tidak mampu memengaruhi penganutnya? Pertanyaan itu diajukan kepada agama yang telah menyebabkan kekacauan yang terjadi. Sejak terjadi kekacauan yang diakibatkan agama, keraguan muncul karena janji akan kepastian, kebahagiaan telah gagal dipenuhi. Modernisme muncul pada menawarkan janji kepastian, kebahagiaan dan tumpuan harapan hidup manusia melalui ilmu pengetahuan.
Dengan adanya ilmu pengetahuan yang memberikan janji, manusia memilih hidup tanpa agama. Ilmu pengetahuan dan teknologi dengan rasio sebagai standar dalam penalaran hadir untuk menjawab ketidakpastian yang telah gagal dilaksanakan agama, janji akan kepastian tumpuan harapan hadir dalam zaman modernisme. Kekacauan itu diubah oleh modernisme menjadi rasional, di mana rasionalitas dipakai untuk melawan takhyul dan ketidaktahuan. Tetapi apa yang dijanjikan modernime ternyata gagal, yang terjadi adalah kerusakan alam sebab tidak disertai penghijauan, perang banyak terjadi diakibatkan peralatan perang makin canggih, dan jarak yang kaya dan miskin makin lebar karena orang kaya tidak memperhatikan orang miskin dengan memberikan yang mereka miliki. Karena zaman modern didominasi oleh analisis logis yang menolak tiap pembicaraan penuh makna tentang spiritualitas serta menganggap pembicaraan tentang hal-hal yang diluar jangkauan pikiran manusia adalah omong kosong.
Muncul keraguan terhadap modernisme yang menekankan ide dan proyek modern yang tidak lagi seperti mimpi tentang kebahagiaan yang dinyatakan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mempermudah pekerjaan tetapi kenyataannya tidak seperti yang diimpikan. Manusia sibuk dengan pekerjaan, kepedulian terhadap sesama tidak ada, bahkan melupakan Tuhan, manusia terasing dari kehidupannya sebagai mahluk religius dan mahluk sosial, sehingga pertanyaan kritis mengemuka dengan tajam dengan ungkapan “dimanakah rasionalitas itu? Janji besar yang diucapkan modernisme itu menjadi kekecewaan”.
Modernisme mengecewakan, karena proyek kemandirian yang merupakan mimpi modernisme telah gagal mewujudkannya di mana logika yang bersembunyi di balik rasionalitas menimbulkan penindasan yang sangat keras bagi manusia. Kemajuan akal budi telah membuat agama tidak mampu membuat manusia mengasihi sesamanya tetapi justru menyingkirkan sesamanya atas dasar klaim kebenaran. Ilmu pengetahuan dan teknologi kembali dipertanyakan akan sumbangsihnya kembali bagi kehidupan manusia.
Oleh karena agama pernah mengecewakan manusia dengan janji akan kebahagian dan kesejahteraan, demikian juga dengan ilmu pengetahuan telah mengecewakan dengan janji akan kehidupan yang lebih baik dan damai tetapi kenyataan yang terjadi justru terjadi banyak ketidakadilan dalam pembagian kerja di wilayah industri. Agama dan ilmu pengetahuan perlu bertobat dan menyadari akan kegagalannya. Postmodernisme adalah kritik terhadap keduanya, yang penting adalah pertobatan ilmu pengetahuan dan agama. Postmodernisme juga merupakan kritik terhadap perlakuan yang terjadi dalam modernisme atau pemutusan hubungan total terhadap pemikiran modernisme.
Serangan terhadap modernisme dilakukan dengan mengeluarkan kritik terhadap rasionalitas atau koreksi terhadap aspek rasionalitas dalam modernisme, Habermas sendiri tetap optimis terhadap proyek pencerahan yakni penggunaan akal atau rasio sebagai alat kebenaran. Harapan Habermas terhadap rasionalitas, Derrida yang terkenal dengan pikirannya yakni dekontruksi. Dalam postmodernisme ada penerimaan kembali terhadap agama sebagai peristiwa penting dan amat menentukan masa depan. Bambang Sugiharto, mengungkapkan bahwa postmodernisme merupakan kritik terhadap gambaran dunia, kritik tehadap modernisme yang gagal serta gugatan terhadap perilaku dalam modernisme. Hans Küng menggambarkan situasi spiritualitas dalam postmodernisme sebagai keadaan yang sangat dialogis antara manusia yang beragama, di mana agama-agama saling terbuka satu sama lain akan dialog. Dalam situasi ini agama-agama dalam membangun spiritualitas yang mendasar dalam kehidupan manusia sangat dibutuhkan dalam mencari makna kehidupan ini. Dalam ungkapan Th. Sumartana yang terkenal bahwa “manusia bukan sekedar pencari makan tetapi pencari makna”. Dengan makna kehidupan yang pluralitas menjadi masalah spritualitas yang utuh dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah.
Spiritualitas yang dikehendaki dalam postmodernisme menurut Küng, bahwa agama sangat ditentukan faktor kemanusiawiannya di mana “agama makin benar jika sangat memerhatikan masalah kemanusiaan”. Situasi majemuk adalah keadaan yang harus dihadapi oleh setiap agama yakni setiap agama memiliki standar kebenaran masing-masing, sehingga setiap agama dituntut untuk meningkatkan spiritualitas yang majemuk tetapi memiliki identitas yang utuh dalam setiap agama, artinya ada ciri khas dari setiap pemeluk agama. Manusia mencari alternatif di dalam agama yang memberikan ketenangan jiwa dibanding dengan kehidupan yang dipenuhi dengan kesibukan kerja sehingga manusia tidak pernah istirahat. Kehidupan manusia yang kembali pulih dengan kesadaran akan adanya Allah tidak didapatkan melalui analisis ilmiah dan rasional.
Makna kehidupan manusia yang memiliki relasi antara sesamanya dan Allah yang tercipta dan terbentuk dalam sebuah wadah yakni agama tetapi bukan sesuatu yang dari luar tetapi memiliki hubungan yang erat antara umat beriman seperti yang digambarkan Rudy Harisyah Alam dalam tulisannya tentang “Perspektif Pasca modernisme dalam kajian keagamaan menguraikan bahwa :
“ Pemaknaan terhadap arti kehidupan sangat ditekankan oleh Jacques Derrida dalam dekontruksi terhadap rasionalitas. Focault mengembangkan sikap yang mengumpulkan pernyataan-pernyataan maupun ungkapan. Kemudian disistematisasi oleh John Searle dalam teori ungkapan yang bermakna. Perkembangan tersebut diuraikan dengan beberapa sistematika yakni pertama: menginventarisasi praktik sosial yang berkembang dalam masyarakat. Kedua mendiskripsikan relasi kerja antara sosial dan keagamaan. Ketiga: menganalisis kebenaran keagamaan dengan keberlangsungan kuasa dalam relasi sosial. Keempat: memperlihatkan hubungan keagamaan. Proses yang panjang demikian membawa manusia pada pemahaman baru dalam hidup beriman dan beragama, di lain pihak sungguh otonom dan di lain pihak oleh iman”.

Kehidupan yang bermakna merupakan cita-cita awal agama yang kembali dibangunkan melalui dekontruksi terhadap rasionalitas yang gagal karena tidak ada penemuan yang pasti akan kehidupan yang dicari melalui ungkapan, dan dicari apa hubungannya dalam kerja antara kehidupan sosial dengan agama. Pencarian tersebut bukan hanya melalui ajaran yang dibuat sistematis dan dapat dianggap benar dengan rasio tetapi pemahaman baru tentang kehidupan yang digerakkan oleh iman.
Dalam situasi postmodern ini dibutuhkan pemahaman Allah yang benar-benar berada yang sungguh manusiawi dan berperan langsung dalam kehidupan manusia. Hal ini kembali pentingnya imanensi dan transendensi Allah dalam keberadaan kehidupan manusia. Manusia memerlukan pemahaman baru tentang relitas iman dan agama sebagai hubungan yang nyata dengan Allah. Dalam hal ini agama Kristen kembali pada keyakinan dan kepastian untuk membawa manusia kembali pada hubungan yang akrab antara Allah dan manusia serta manusia dan sesamanya. Berhadapan dengan Allah manusia menyadari diri dalam kesamaan sebagai makhluk yang lain daripada makhluk yang lain dipanggil untuk berdialog dengan Sang pencipta antara manusia itu sendiri dan keutuhan serta keselamatan ciptaan lain.
Dengan demikian agama bertanggung jawab membimbing manusia mencintai ciptaan lain dan di lain pihak memiliki relasi dengan Allah, di mana manusia menggambarkan Allah sehingga manusia dipanggil untuk berdiri dihadapan-Nya. Peran agama Kristen dibangun pada pemahaman Yesus sebagai “batu penjuru”. Th. Sumartana membagi tiga pola etika Kristen yang didasarkan pada Yesus yakni: pertama, Yesus sebagai manusia sejati. Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia karena Ia peduli terhadap masa depan dan nasib manusia. Manusia tidak hanya percaya bahwa Allah mengutus Yesus Kristus melainkan meneladani atau melakukan kehendak Tuhan. Yesus Kristus adalah pembawa, pemegang, saksi dan penunjuk kepada kerajaan Allah. Kedua, kerajaan Allah sebagai sumber orientasi Yesus. Kerajaan Allah merupakan wujud konkret dari persekutuan yang sudah diperbarui dengan Allah. Kerajaan Allah masih harus disempurnakan agar terpenuhi martabat dan harkat selaku ciptaan Tuhan. Kerajaan Allah tidak datang dari luar tetapi dari perubahan manusia di mana masyarakat sekarang telah dibebaskan dari penindasan, korupsi dan ketimpangan ekonomi. Ketiga, peristiwa salib selaku pola etika dari kehidupan Kristen sebagaimana ditunjukkan dalam kehidupan Yesus. Peristiwa salib menggambarkan Yesus yang mengambil resiko untuk menjadi sesama dalam solidaritas yang penuh untuk mengumumkan bahwa kerajaan Allah merupakan harapan bagi kemanusiaan. Dalam peristiwa salib nyata terbuka kerajaan Allah, kesalahan manusia termasuk agama didalamnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Postmodernisme, yang dimaksudkan adalah kritik atas modernisme yang menempatkan rasio sebagai instrumen atau alat untuk mengerjakan kepentingan manusia merusak atau mengembalikan dimensi kemanusiaan yakni hubungannya dengan yang Ilahi. Postmodernisme sebagai kritik terhadap agama dan ilmu karena gagal memenuhi janjinya dan menawarkan kepada agama dan ilmu pengetahuan untuk melihat dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi hidup manusia yang lebih manusiawi.
Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dan cara beragama yang baru, dialog dan cara beragama yang baru melalui kemanusiaan titik pijak yang baru. Manusia mempunyai hubungan dengan realitas tertinggi yakni Allah. Sebab, modernisme melupakan sisi manusia yang lain yakni kesadaran akan kekuatan yang diluar dirinya.
Identitas manusia, ditentukan oleh dimensi hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan sesama. Dalam hal ini agama dan sains bekerja sama dalam membangun dan membuat manusia sejahtera.
Manusia seharusnya menghargai nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasakan kemanusiaan sehingga nyata damai dan sejahtera bagi kehidupan manusia, manusia membutuhkan kepastian dari agama dipegang orang sebab pertanyaan yang selalu diperhadapkan kepada manusia dari manakah hakikat asalanya dan kemana akan pergi? Kepastian yang dinyatakan melalui pernyataan-pernyataan kitab suci dan simbol-simbol memperkuat keyakinan orang akan apa yang dipegangnya untuk menyatakan kesejahteraan dan kedamaian bukan peperangan karena kebenaran, penekanan saat ini adalah bagaimana hidup berdampingan untuk menyatakan kerajaan Allah yakni kehidupan tanpa penindasan dan kekerasan. Lihatlah kepada Yesus manusia yang sempurna tanpa dosa, di mana Ia menjaga hubungan yang akrab dengan sesama dan Allah dan telah mengorbankan diri-Nya sebagai rasa solidaritas-Nya atas keadaan manusia melalui salib, hubungan manusia dan sesama pulih, serta hubungan manusia dengan Allah.
B. SARAN
 Kegagalan dalam zaman terjadi karena keserakahan manusia, diberikan sedikit tetapi ingin banyak, sehingga perlu kesadaran manusia untuk hidup dalam kecukupan.
 Agama bisa gagal lagi di era postmodernisme, harus ada suara propetis dari agama untuk mengembalikan keadaannya dalam penerimaan akan agama lain, kesadaran manusia yang beragama menikmati kehidupan keberimanannya, sehingga manusia merasakan bahwa Allah hadir dalam kehidupannya.
 Agama dan ilmu harus bertobat untuk mewujudkan kerajaan Allah di bumi, di mana kerjasama keduanya diwujudkan untuk melihat kemanusiaan yang sempurna yang nyata di dalam kehidupan manusia saat ini.
 Kritik kepada umat beragama dan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberi Nilai pada kemanusiaan yang memandang dirinya sendiri.
 Kemanusiaan kembali diangkat untuk dihargai setiap insan. Agama harus mengembalikan situasi global yang telah rusak. Agama berperan dalam membentuk iptek tetapi tidak diawasi sehingga pengawasan agama pada iptek harus selalu dilakukan.
 Spiritulitas yang utuh bagi manusia yakni hubungannya dengan Allah dan bukan melupakan Allah tetapi melibatkanNya dalam perencanaan.
 Postmodernisme telah hadir mengembalikan agama tetapi tidak ada kebenaran mutlak sehingga kebenaran itu benar ada pada dirinya sendiri dan selalu didekontruksi untuk mendapat kebenaran yang baru. Apa standar kebenaran? Standar kebenaran jika ia berifat manusiawi, jika tidak bersifat manusiawi ia bukan kebenaran.
 Tidak ada kebenaran Tunggal semuanya benar, pengakuan kebenaran terhadap agama lain. Kebenaran itu relatif.
 Jadi dimana ada kebenaran? Kebenaran ada pada setiap agama, semua berhak mengklaim dan menghargai setiap kebenaran dalam setiap agama.
 Lalu bagaimana kalau kebenaran itu selalu didekontruksi? Kebenaran itu didekontruksi jika tidak memberikan sumbangsih lagi bagi kemanusiaan, lalu apa peran agama? Mengembalikan peran dan memberikan pencerahan kepada umat untuk melakukan kebenaran. Jika melakukan dekontruksi terus-menerus di mana ada kebenaran, kebenaran itu ada pada hasil dekontruksi berarti kebenaran itu relatif tidak ada kebenaran mutlak.







DAFTAR PUSTAKA

a. Alkitab, Kamus,
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1994
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001
b. Buku
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat: Rasio Manusia dan Modernitas Dalam Narasi Posmodernisme. Bandung: Rosdakarya. 2000
Adiprasetya, Joas. Mencari Dasar Bersama: Etik Global Dalam Kajian Postmodernisme Dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002.
Ali, Muhamammad. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2003
Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Badan Pekerja Majelis Sinode. Tata Gereja-Gereja Toraja. Rantepao: PT Sulo, 2000
Darmaputera, Eka. Peranan Agama-Agama Dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila Yang Membangun, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1996
Hadiwidjono, Harun, Iman Kristen , Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
Pals, Daniel L. Dekontruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Agama. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006
Plaisier, Arie Jan. Manusia, Gambar Allah: Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002.
Manguling, Sulaiman. Kecenderungan Ideologi Masa Depan: Antara Sekularisme dan Fundamentalisme, dalam Zakaria J. Ngelow (Ed), Seberkas Cahaya Di Ufuk Timur, Makassar: STT INtim, 2000
Panikkar, Raimundo. Dialog Intra Religius. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Sinaga, Martin L (ed). Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta: Grasindo. 2000
Singgih, Emanuel Gerrit. Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran Mengenai
Kontektualisasi Teologi Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Teologi. 2004
…………………, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi Dalam Konteks Di Awal Milenium III, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.Yogyakarta: Kanisius. 2000
Sunardi, Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Küng Bagi Dialog Antar Agama, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Seri Dian I, Yogakarta: Dian/Interfidei, 1993
Suyoto. Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban. Jakarta: Aditya Media. 1994
Tanja, Victor I. Spritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar